Friday, August 29, 2008

Kisah Sejarah 16 Agustus


"Saudara - saudara sekalian! Saya telah minta saudara - saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa penting dalam sejarah kita. Sekarang tibalah saatnya kita benar - benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita sendiri," suara Soekarno terdengar mantap. Di hadapannya, orang berkerumun dengan wajah harap - harap cemas. Jumlahnya tak sampai seratus. Mohammad Hatta, wakilnya di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, berdiri sedikit di belakangnya. Hari itu Jum'at 17 Agustus 1945, pukul 10.00 lebih sedikit.
Wajah Soekarno pagi itu agak pucat. Semalam suntuk, bersama Hatta dan Achmad Soebardjo, tokoh pergerakan yang sehari kemudian di daulat menjadi Menteri Luar Negeri Pertama, dia bergadang mempersiapkan Naskah Proklamasi. Naskah itu baru kelar menjelang terang tanah.
Sehari sebelumnya, sehabis subuh. Para pemuda menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Penculikan dipicu oleh perdebatan sengit antara tokoh pemuda dan Soekarno dan Hatta pada 15 Agustus: Wikana versus Soekarno dan Soebardjo Sastrosatomo melawan Hatta.

Para pemuda mendesak deklarasi kemerdekaan Indonesia dilakukan sesegera mungkin mumpung pemerintah Jepang sedang gamang akibat 2 kota besarnya, Hiroshima dan Nagasaki, dihantam bom atom. Tapi, Soekarno - Hatta menolak desakan itu. Soekarno ingin lebih dulu memastikan peta kekuatan terakhir Jepang, Belanda dan Sekutu. "Ini batang leherku, seretlah aku ke pojok itu, dan potong leherku malam ini juga," kata Bung Karno ketita Wikana terus mendesak.
Hatta mendukung Soekarno. "Jika saudara - saudara sekalian tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri?"
Raibnya Soekarno dan Hatta membuat panik Jakarta. Apalagi, pukul 10.00 hari itu, seharusnya ada rapat pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan. Semua anggota, 12 orang di antaranya datang dari luar Jawa, sudah berkumpul di Hotel Indes, di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Menurut hatta, jika tidak ada insiden Rengasdengklok, Proklamasi seharusnya terjadi pada 16 agustus.
Achmad Soebardjo, yang pertama kali tahu raibnya Soekarno - Hatta, berkeliling mencari kedua tokoh tersebut . Situasi Jakarta tak menentu, tak jelas lagi siapa yang berkuasa. Tempat pertama yang di satroni Soebardjo adalah markas tentara Jepang. Tidak ada. Dia lalu menghubungi wikana. Dari Wikana, lokasi penyekapan Soekarno - Hatta terbongkar. Tanpa buang - buang waktu, Soebardjo memacu mobil skodanya ke Rengasdengklok.
Sesampainya di sana, para pemuda masih menolak membebaskan Soekarno - Hatta. Kepepet oleh situasi yang makin menggenting, Soebardjo menjamin, "Kalau Proklamasi tidak dilakukan, saya bersedia ditembak mati," katanya. Baru setelah itu, para pemuda melunak.
Rombongan Soekarno - Hatta tiba di Jakarta pukul 10.00 malam. Mereka berniat menggelar rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan saat itu juga. Namun, karena ada jam malam, Hotel Des Indes tak mau dijadikan tempat rapat. Soebardjo menghubungi Laksamana Tashida Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang, untuk meminjam rumahnya yang jembar di Jalan Meiji Dori ( sekarang Jalan Imam Bonjol ).
Tengah malam, pertemuan dibuka. Situasi tegang. Golongan pemuda tak ingin Panitia Persiapan dilibatkan dalam perumusan Proklamasi, karena lembaga itu dituding sebagai boneka Jepang. Tapi, Soekarno - Hatta ingin melibatkan mereka agar pengelolaan pemerintahan pasca kemerdekaan lebih mudah.
Agenda rapat pertama adalah soal judul. Tajuk "Maklumat Kemerdekaan" ditolak oleh sebagian anggota Panitia Persiapan. "Seakan - akan ini adalah keputusan badan tertentu, padahal ini kebutuhan suatu bangsa," ujar anggota Panitia, Iwa Kusumasumatri. Akhirnya diputuskan pernyataan berjudul "Proklamasi". Soekarno, Hatta, dan Achmad soebardjo lalu masuk ke rumah makan untuk merumuskan masalah naskahnya.
Naskah Proklamasi Indonesia berisi 2 kalimat saja. Kalimat pertama didektekan Hatta: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia." Menurut Hatta, kalimat itu dimaksudkan sebagai deklarasi, pernyataan tegas dan maknanya tunggal. Kalimat itu bertalian erat dengan kalimat pertama naskah mukaddimah konstitusi yang sudah dirancang 2 bulan sebelumnya: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa dan, oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan."
Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda menyebutkan pemikiran tentang "kemerdekaan adalah hak" di balik teks Proklamasi itu adalah konsepyang melampaui zamannya. Piagam Perserikatan Bangsa - Bangsa yang di sahkan pada tanggal 24 Oktober 1945, tulis wirajuda dalam kolom di harian Kompas, Agustus 2004, hanya mengakui kemerdekaan atas persetujuan negara penjajah. Baru pada 1960, Majelis Umum Perserikatan mengakui hak - hak bangsa terjajah untuk merdeka.
Kalimat kedua, "Hal - hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll. diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat - singkatnya," dirumuskan sendiri oleh Soekarno. Sosiolog Ignas Kleden, menilai kalimat ini merupakan cermin benturan pemikiran Soekarno dan Hatta. "Yang disebut dalam teks itu, hanya soal pemindahan kekuasaan, karena memang hanya itu yang bisa secepatnya dilakukan," kata Ignas. Hatta, menurut Ignas, sadar benar deklarasi kemerdekaan itu tak bisa serta merta mengubah budaya orang terjajah menjadi budaya orang merdeka.
Pada pukul 03.00 pagi, naskah Proklamasi rampung. Saat Soekarno meminta persetujuan tokoh pergerakan yang hadir, terjadi debat panas. Seorang tokoh pemuda, Sukarni, dengan pedas berujar, "Naskah ini lepas darisemangat revolusioner, lemah, dan tidak memiliki kepercayaan terhadap diri sendiri."
Menurut sejarawan Belanda, Lambert Giebels, atas saran Laksamana Maeda, Soekarno memang sempat menolak usul Hatta yang ingin mencantumkan kalimat "kekuasaan direbut dari tangan penguasa". Namun keterangan Giebels dibantah sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam. "Maeda tidak ikut campur dalam perumusan naskah Proklamasi," katanya.
Suhu perdebatan dini hari itu, naik lagi ketika mereka membahas siapa yang akan menandatangani naskah Proklamasi. sukarni lagi - lagi berkeras menolak anggota Panitia Persiapan menorehkan namanya. Atas usul tokoh pemuda lain, Sayuti Melik, akhirnya hanya Soekarno dan Hatta yang membubuhkan tanda tangan, "atas nama bangsa Indonesia." Menjelang waktu sahur- saat itu memang bulan Ramadhan - rapat usai.
Enam jam kemudian, di halaman rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Menteng Jakarta Pusat, suara bariton khas milik sang empunya rumah membahana: "Maka kami, tadi malam, telah mengadakan musyawarah dengan pemuka - pemuka rakyat Indonesia. Permusyawaratan itu seia - sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menanyakan kemerdekaan kita. Saudara - saudara dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu..... Dengarkanlah proklamasi kami.............. (*)

No comments:

Post a Comment

E, pada komentarin blog kita - kita ya....